Bismillah.
Ketika suatu saat penulis berada di sebuah warung angkringan, ada pembicaraan yang menarik untuk kami bagikan faidahnya di sini. Bisa jadi kita mendapatkan pelajaran berharga darinya.
Singkat cerita, sang penjual angkringan menceritakan keprihatinannya akan sebuah masjid yang ada di kampungnya. Bukan karena jama’ahnya sepi, tetapi karena kalau sholat jum’at sebagian jama’ah yang kebanyakan adalah para mahasiswa UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) itu harus sholat di jalan -dengan menggelar tikar- dan terkena sengatan panas matahari di kala panas atau percikan hujan di kala cuaca mendung dan gerimis.
Dia menceritakan bahwa sudah ada usulan dari sebagian jama’ah untuk membuat semacam atap tambahan untuk melindungi jama’ah dari panas dan hujan di bagian samping masjid itu yang memang berbatasan langsung dengan jalan kampung. Katanya, usulan ini sudah beberapa tahun disampaikan tetapi sepertinya kurang mendapat tanggapan. Sebagian alasan yang didengar dari pihak yang kurang setuju adalah disebabkan tanah itu adalah jalan umum sehingga dikhawatirkan mungkin akan mengganggu aktifitas dan penggunaan jalan itu sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya -masih dari penuturan beliau- usulan ini juga mendapatkan tanggapan walaupun beliau sendiri menganggap bahwa rencana pembuatan atap tambahan sementara yang akan dilakukan itu ada sedikit kekurangan karena sebab ini dan itu. Beliau juga menceritakan bahwa pengurus masjid itu juga sudah berencana untuk merenovasi masjid menjadi dua lantai ke depannya agar bisa menampung jama’ah lebih banyak dan lebih nyaman untuk beribadah.
Di sini, kami tidak ingin membahas bagus tidaknya rencana pembangunan atap tambahan yang sudah diusulkan sekian lama itu. Hanya saja, ada faidah yang cukup penting dari pembicaraan itu; bahwa jama’ah masjid memang butuh untuk diperhatikan dan dilayani dengan baik; salah satu bentuknya adalah menyediakan sarana ibadah yang nyaman dan bisa menampung jumlah jamaah yang cukup banyak; terutama ketika sholat jum’at atau ketika bulan Ramadhan.
Terlebih lagi di daerah yang jumlah pendatangnya cukup banyak seperti di sekitar kampus atau perguruan tinggi. Bisa jadi pihak kampus telah menyediakan sarana ibadah berupa masjid yang cukup besar tetapi tidak dipungkiri bahwa banyak juga mahasiswa yang sholat jum’at dan tarawihnya tidak di masjid kampus tetapi lebih memilih di dekat kosnya. Apalagi jika kampus itu cukup besar dengan jumlah mahasiswa ribuan yang masuk setiap tahunnya.
Dari perbincangan di angkringan itu, kami mendapat pelajaran bahwa kepedulian bapak penjual angkringan ini patut untuk kita renungkan bersama. Seperti yang dikatakan dalam ungkapan, bahwa hikmah itu adalah barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin. Ya, mungkin sebagian dari kita kurang peduli dengan keadaan masjid kita sendiri. Sebagian orang mungkin berdalih; ‘saya bukan pengurus masjid situ’, atau malah mengatakan ‘itu bukan urusan saya’.
Dari sini kita juga bisa memetik pelajaran tentang keutamaan memakmurkan masjid baik secara fisik dengan memberikan sarana yang layak dan nyaman untuk jama’ah maupun secara maknawi dengan mengadakan pengajian dan bimbingan keislaman dengan teratur dan terarah. Bisa jadi dengan anda mengurus masjid dan ikut merawatnya -ketika orang lain banyak tidak peduli- itu menjadi sebab Allah mengampuni dosa-dosa anda dan memberi jalan hidayah bagi banyak manusia.
Wajarlah kalau khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu bertekad kuat dan mewujudkan rencananya untuk memperbaiki masjid nabawi di masa itu demi menjalankan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa membangun masjid karena mengharap wajah Allah maka Allah akan membangunkan untuknya yang serupa itu di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati sang penjual angkringan yang sudah memberikan nasihat untuk kita…